BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pendidikan luar sekolah sebenarnya
bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan
luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat jauh
sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. PLS mempunyai bentuk
dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan
persekolahan. PLS timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan
akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal
saja. PLS pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan
keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Berbagai kelemahan sistem persekolahan
dimuntahkan, terutama pada aspek-aspek prosedural yang dinilai mengeras, kaku,
serba ketat dan formalistis. Pada intinya, walaupun sistem persekolahan masih
tetap dipandang penting, pijakan pemikiran sudah mulai realistis yaitu tidak
semata-mata mengandalkan sistem persekolahan untuk melayani aneka ragam
kebutuhan pendidikan yang kian hari semakin mekar dan beragam. Pembinaan dan
pengembangan PLS dipandang relevan untuk bisa saling isi-mengisi atau topang
menopang dengan sistem persekolahan, agar setiap insan bisa menyesuaikan
hidupnya sesuai dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini penulis merasa
tertarik untuk membuat makalah tentang pendidikan luar sekolah yang kita kenal
dengan pendidikan informal atau nonformal.
2.
Batasan masalah
Agar penulisan makalah ini pembahasannya
tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan pembuatan makalah
maka dengan ini penulis membatasi masalah hanya pada ruang lingkup sebagai
berikut:
1. Definisi
pendidikan luar sekolah (PLS)
2. Dasar
pendidikan luar sekolah (PLS)
3. Persamaan
dan perbedaan PLS dengan pendidikan sekolah
4. Sasaran
pendidikan luar sekolah (PLS)
3.
Metode Pembahasan
Dalam hal ini penulis menggunakan:
1. Metode
deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk
memberikan gambaran tentang suatu masyarakat atau kelompok orang tertentu atau
gambaran tentang suatu gejala atau hubungan antara dua gejala atau lebih
(Atherton dan Klemmack: 1982).
2. Penelitian
kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan
data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada
hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.
BAB II
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH (PLS)
1.
Definisi pendidikan luar sekolah (PLS)
1.
Komunikasi Pembaruan Nasional Pendidikan
Pendidikan luar sekolah adalah setiap
kesempatan dimana terdapat komunikasi yang teratur dan terarah di luar sekolah
dan seseorang memperoleh informasi, pengetahuan, latihan maupun bimbingan
sesuai dengan usia dan kebutuhan kehidupan, dengan tujuan mengembangkan tingkat
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi
peserta-peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarga, pekerjaan
bahkan lingkungan masyarakat dan negaranya.
2. PHILLIPS
H. COMBS, mengungkapkan bahwa pendidikan luar sekolah adalah setiap kegiatan
pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik
tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang
dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka
mencapai tujuan-tujuan belajar.
2. Dasar
pendidikan luar sekolah (PLS)
1. Sejarah
terbentuknya pendidikan luar sekolah (PLS)
Alasan
terselenggaranya PLS dari segi kesejarahan, tidak bisa lepas dari lima aspek
yaitu:
·
Aspek pelestarian budaya
Pendidikan yang pertama dan utama
adalah pendidikan yang terjadi dan berlangsung di lingkungan keluarga dimana
(melalui berbagai perintah, tindakan dan perkataan) ayah dan ibunya bertindak
sebagai pendidik. Dengan demikian pendidikan luar sekolah pada permulaan
kehadirannya sangat dipengaruhi oleh pendidikan atau kegiatan yang berlangsung
di dalam keluarga. Di dalam keluarga terjadi interaksi antara orang tua dengan
anak, atau antar anak dengan anak. Pola-pola transmisi pengetahuan,
keterampilan, sikap, nilai dan kebiasaan melalui asuhan, suruhan, larangan dan
pembimbingan. Pada dasarnya semua bentuk kegiatan ini menjadi akar untuk
tumbuhnya perbuatan mendidik. Semua bentuk kegiatan yang berlangsung di
lingkungan keluarga dilakukan untuk melestarikan dan mewariskan kebudayaan
secara turun temurun. Tujuan kegiatan ini adalah untuk memenuhi kebutuhan
praktis di masyarakat dan untuk meneruskan warisan budaya yang meliputi
kemampuan, cara kerja dan Teknologi yang dimiliki oleh masyarakat dari satu
generasi kepada generasi berikutnya. Jadi dalam keluarga pun sebenarnya telah
terjadi proses-proses pendidikan, walaupun sistem yang berlaku berbeda dengan
sistem pendidikan sekolah. Kegiatan belajar-membelajarkan yang asli inilah yang
termasuk ke dalam kategori pendidikan tradisional yang kemudian menjadi
pendidikan luar sekolah.
·
Aspek teoritis
Salah satu dasar pijakan teoritis
keberadaan PLS adalah teori yang diketengahkan Philip H. Cooms (1973:10), tidak
satupun lembaga pendidikan: formal, informal maupun nonformal yang mampu secara
sendiri-sendiri memenuhi semua kebutuhan belajar minimum yang esensial. Atas
dasar teori di atas dapat dikemukakan bahwa, keberadaan pendidikan tidak hanya
penting bagi segelintir masyarakat tapi mutlak diperlukan keberadaannya bagi
masyarakat lemah (yang tidak mampu memasukan anak-anaknya ke lembaga pendidikan
sekolah) dalam upaya pemerataan kesempatan belajar, meningkatkan kualitas hasil
belajar dan mencapai tujuan pembelajaran yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.
Uraian di atas cukup untuk dijadikan gambaran bahwa PLS merupakan lembaga
pendidikan yang berorientasi kepada bagaimana menempatkan kedudukan, harkat dan
martabat manusia sebagai makhluk yang memiliki kemauan, harapan, cita-cita dan
akal pikiran.
·
Dasar pijakan
Ada tiga dasar pijakan bagi PLS
sehingga memperoleh legitimasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat
yaitu: UUD 1945, Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 dan peraturan pemerintah
RI No.73 tahun1991tentang pendidikan luar sekolah. Melalui ketiga dasar di atas
dapat dikemukakan bahwa, PLS adalah kumpulan individu yang menghimpun dari
dalam kelompok dan memiliki ikatan satu sama lain untuk mengikuti program
pendidikan yang diselenggarkan di luar sekolah dalam rangka mencapai tujuan belajar.
Adapun bentuk-bentuk satuan PLS., sebagaimana diundangkan di dalam UUSPN tahun
1989 pasal 9:3 meliputi: pendidikan keluarga, kelompok belajar, kursus dan
satuan pendidikan sejenis. Satuan PLS sejenis dapat dibentuk kelompok bermain,
penitipan anak, padepokan persilatan dan pondok pesantren tradisional.
·
Aspek kebutuhan terhadap pendidikan
Kesadaran masyarakat terhadap
pendidikan tidak hanya pada masyarakat daerah perkotaan, melainkan masyarakat
daerah pedesaan juga semakin meluas. Kesadaran ini timbul terutama karena
perkembangan ekonomi, kemajuan iptek dan perkembangan politik. Kesadaran juga
tumbuh pada seseorang yang merasa tertekan akibat kebodohan, keterbelakangan
atau kekalahan dari kompetisi pergaulan dunia yang menghendaki suatu
keterampilan dan keahlian tertentu. Atas dasar kesadaran dan kebutuhan inilah
sehingga terwujudlah bentuk-bentuk kegiatan kependidikan baik yang bersifat
persekolahan ataupun di luar persekolahan.
·
Keterbatasan lembaga pendidikan sekolah
Lembaga pendidikan sekolah yang jumlahnya
semakin banyak bersifat formal atau resmi yang dibatasi oleh ruang dan waktu
serta kurikulum yang baku dan kaku serta berbagai keterbatasan lainnya.
Sehingga tidak semua lembaga pendidikan sekolah yang ada di daerah terpencilpun
yang mampu memenuhi semua harapan masyarakat setempat, apalagi memenuhi semua
harapan masyarakat daerah lain. Akibat dari kekurangan atau keterbatasan itulah
yang memungkinkan suatu kegiatan kependidikan yang bersifat informal atau
nonformal diselenggarakan, sehingga melalui kedua bentuk pendidikan itu
kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi.
2. Perkembangan
pendidikan luar sekolah (PLS)
Dibagi dalam tiga periode:
1. Periode
Pra kemerdekaan
2. Periode
Revolusi
3. Periode
Orde Baru
3. Sistem
pendidikan luar sekolah (PLS)
PLS adalah sub sistem pendidikan
nasional, yaitu suatu sistem yang memiliki tujuan jangka pendek dan tujuan
khusus yakni memenuhi kebutuhan belajar tertentu yang fungsional bagi masa
sekarang dan masa depan. Komponen atau sub sistem yang ada pada sistem PLS
adalah masukan saran (instrumen input), masukan mentah (raw input),
masukan lingkungan (environmental input), proses (process),
keluaran (out put) dan masukan lain (other input) dan Pengaruh (impact).
4. Program
pendidikan luar sekolah (PLS)
Jenis-jenis pendidikan yang ada pada
PLS, menurut D. Sudjana (1996:44) di antaranya adalah:
1. Pendidikan
Massa (Mass education)
Pendidikan massa yaitu kesempatan
pendidikan yang diberikan kepada masyarakat luas dengan tujuan yaitu membantu
masyarakat agar mereka memiliki kecakapan dalam hal menulis, membaca dan
berhitung serta berpengetahuan umum yang diperlukan dalam upaya peningkatan
taraf hidup dan kehidupannya sebagai warga negara. Istilah Mass education
menunjukan pada aktifitas pendidikan di masyarakat yang sasarannya kepada
individu-individu yang mengalami keterlantaran pendidikan, yaitu individu yang
tidak berkesempatan memperoleh pendidikan melalui jalur sekolah, tetapi putus
di tengah jalan dan belum sempat terbebas dari kebuta-hurufan. Mass education
ini dapat dikatakan semacam program pemberantasan buta huruf atau program
keaksaraan, tentu saja tidak bertujuan supaya orang-orang didiknya sekedar bisa
baca-tulis, tetapi juga supaya memperoleh pengetahuan umum yang relevan bagi
keperluan hidupnya sehari-hari. Individu yang menjadi sasarannya adalah
pemuda-pemuda dan orang dewasa. Pelaksanaannya melalui kursus-kursus.
2. Pendidikan
Orang Dewasa (Adult Education)
Pendidikan orang dewasa yaitu
pendidikan yang disajikan untuk membelajarkan orang dewasa. Dalam salah satu
bukunya tentang PLS, Sudjana (1996:45) menerangkan bahwa pendidikan orang
dewasa adalah pendidikan yang diperuntukan bagi orang-orang dewasa dalam
lingkukangan masyarakatnya, agar mereka dapat mengembangkan kemampuan,
memperkaya pengetahuan, meningkatkan kualifikasi teknik dan profesi yang telah
dimilikinya, memperoleh cara-cara baru serta merubah sikap dan perilakunya.
3. Pendidikan
Perluasan (Extension Education)
Kegiatan yang diselenggarakan PLS
adalah meliputi seluruh kegiatan pendidikan baik yang dilaksanakan di luar
sistem pendidikan sekolah yang dilembagakan ataupun yang tidak dilembagakan.
3. Ciri-ciri
pendidikan luar sekolah (PLS)
1. Beberapa
bentuk pendidikan luar sekolah yang berbeda ditandai untuk mencapai
bermacam-macam tujuan.
2. Keterbatasan
adalah suatu perlombaan antara beberapa PLS yang dipandang sebagai pendidikan
formal dari PLS sebagai pelengkap bentuk-bentuk pendidikan formal.
3. Tanggung
jawab penyelenggaraan lembaga pendidikan luar sekolah dibagi oleh pengawasan
umum/masyarakat, pengawasan pribadi atau kombinasi keduanya.
4. Beberapa
lembaga pendidikan luar sekolah di disiplinkan secara ketat terhadap waktu
pengajaran, Teknologi modern, kelengkapan dan buku-buku bacaan.
5. Metode
pengajaran juga bermacam-macam dari tatap muka atau guru dan kelompok-kelompok
belajar sampai penggunaan audio televisi, unit latihan keliling, demonstrasi,
kursus-kursus korespondensi, alat-alat bantu visual.
6. Penekanan
pada penyebaran program teori dan praktek secara relative dari pada PLS.
7. Tidak
seperti pendidikan formal, tingkat sistem PLS terbatas yang diberikan
kredensial.
8. Guru-guru
mungkin dilatih secara khusus untuk tugas tertentu atau hanya mempunyai
kualifikasi professional dimana tidak termasuk identitas guru.
9. Pencatatan
tentang pemasukan murid, guru dan kredensial pimpinan, kesuksesan latihan,
membawa akibat peningkatan produksi ekonomi, peningkatan kesejahteraan dan
pendapatan peserta.
10. Pemantapan
bentuk PLS mempunyai dampak pada produksi ekonomi dan perubahan sosial dalam
waktu singkat dari pada kasus pendidikan formal sekolah.
11. Sebagian
besar program PLS dilaksanakan oleh remaja dan orang-orang dewasa secara
terbatas pada kehidupan dan pekerjaan.
12. Karena
secara digunakan, PLS membuat lengkapnya pembangunan nasional. Peranannya
mencakup pengetahuan, keterampilan dan pengaruh pada nilai-nilai program.
13. Diselengarakan
dengan tidak berjenjang, tidak berkesinambungan dan dilaksanakan dalam waktu singkat.
14. Karena
sifatnya itu sehingga tujuan, metode pembelajaran dan materi yang disampaikan
selalu berbeda di masing-masing penyelenggara PLS.
4. Persamaan
dan perbedaan pendidikan luar sekolah (PLS)
1. Persamaan
Persamaan antara PLS dengan pendidikan
persekolahan dapat diperhatikan dari dua sudut pandang yaitu sudut pandangan
masyarakat dan sudut pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat,
pendidikan berarti pewaris atau pemindahan nilai-nilai intelek, seni, politik,
ekonomi, agama dan lain sebagainya; Sedangkan dari segi pandangan individual,
pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi manusia (Hasan Langglung,
1980). Persamaan lainnya yaitu fungsi pendidikan adalah untuk pengembangan ilmu
pengetahuan, Teknologi dan keterampilan bahwa menyiapkan suatu generasi agar
memiliki dan memainkan peranan tertentu dalam masyarakat.
Proses pendidikan selalu melibatkan
masyarakat dan semua perangkat kebudayaan sesuai dengan nilai dan falsafah yang
dianutnya.
2. Perbedaan
Antara Pendidikan Sekolah Dan Luar Sekolah
Secara prinsip, satu-satunya perbedaan
antara pendidikan luar sekolah dengan pendidikan sekolah adalah legitimasi atau
formalisasi penyelenggaraan pendidikan. Tentang perbedaan penyelenggaraan ini,
secara institusional, tercantum pada Undang-Undang RI nomor 2 tentang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 10:2-3. selanjutnya, perbedaan secara operasional,
Umberto Sihombing melalui bukunya Pendidikan Luar Sekolah: Manajemen Strategi
(2000:40-46) menuliskan secara khusuS dan sistematis tentang perbedaan antara Pendidikan
Luar Sekolah dengan Pendidikan Sekolah.
Pendidikan luar sekolah (PLS) sangat
berbeda dengan pendidikan sekolah, khususnya jika dilihat dari sepuluh unsur di
bawah (lihat tabel).
NO
|
INDIKATOR
|
PERBEDAAN
|
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
|
PENDIDIKAN
SEKOLAH
|
1.
|
Warga belajar
|
§
Rentang usia warga
belajar heterogen (10-44 tahun)
§
Latar Belakang
pendidikan warga belajar heterogen
§
Motivasi belajar
karena kebutuhan mendesak
§
Warga belajar dapat
berfungsi sebagai sumber belajar
§
Warga belajar lebih
Mandiri dalam memilih program yang dibutuhkan
§
Penerapan warga
belajar berdasarkan sasaran
§
Ada yang sudah
bekerja baru ikut belajar
|
§
Rentang usia setiap
jenjang lebih homogen
§
Latar Belakang
pendidikan lebih homogen
§
Motivasi belajar
untuk prestasi jangka panjang
§
Siswa bertindak sebagai
anak didik
§
Siswa tidak dapat
memilih program sesuai kebutuhannya
§
Penerapan siswa
berdasarkan nilai yang diperoleh
§
Selesai sampai
jenjang tertentu baru mencari pekerjaan
|
2.
|
Tutor / sumber belajar
|
§
Biasanya disebut
tutor
§
Pemilihan tutor
lebih ditekankan pada segi keterampilan yang dimilikinya
§
Bersifat terbuka
(siapapun dapat menjadi tutor)
§
Bertindak sebagai
fasilitator
§
Tidak ada
perjenjangan karir
§
Tidak digaji
pemerintah
|
§
Disebut guru
§
Ditekankan pada
kemampuan akademis
§
Bersifat tertutup
(latar Belakang akademik)
§
Bersifat sebagai
nara sumber utama
§
Ada jenjang karir
§
Digaji pemerintah /
swasta
|
3.
|
Pamong belajar / penyelenggara
|
§
Lebih bersifat
sukarela / nobenefit (kecuali untuk program khusus)
§
Perseorangan, LSM
atau instansi
§
Bertindak sebagai fasilitator
|
§
Mendapat gaji
§
Diselenggarkan oleh
pemerintah atau lembaga / yayasan berbadan hukum
§
Bertindak sebagai
pengelola
|
4.
|
Sarana belajar
|
§
Sarana belajar
berbentuk variatif (modul, leaflet, booklet, poster, dsb) sesuai dengan
kebutuhan belajar
§
Materi bahan belajar
dikembangkan sesuai program yang dikembangkan
§
Sarana
belajar/learning kit sangat variatif
§
Bahan belajar dapat
disusun oleh siapa saja (termasuk warga belajar itu sendiri)
§
Memanfaatkan sarana
belajar yang ada
§
Pengalaman warga
belajar dimanfaatkan untuk bahan belajar
|
§
Sarana / learning
kit yang dibutuhkan sudah baku
§
Materi bahan belajar
homogen (berdasarkan kurikulum nasional)
§
Jenis bahan belajar
kurang variatif (bentuk buku atau modul)
§
Bahan belajar
disusun oleh para ahli
§
Sering berubah-ubah
§
Kurang mengakomodasi
pengalaman siswa / peserta didik
|
5.
|
Tempat Belajar
|
§
Memanfaatkan
bangunan prasarana yang ada
§
Mengoptimalkan
sarana yang tersedia
|
§
Dilakukan di gedung
sekolah sendiri
§
Mengadakan sarana
yang dibutuhkan (Sengaja diadakan untuk mendukung proses belajar)
|
6.
|
Dana
|
§
Swadaya masyarakat/
warga belajar
§
Bantuan pemerintah,
LSM, badan swasta lainnya
§
Pengelolaan dana
bersifat terbuka
|
§
Swadaya
§
Bantuan pemerintah
§
Dibebankan pada
negara
§
Pengelolaan dana
tertutup
|
7.
|
Ragi belajar
|
§
Pemberian ragi
belajar disesuaikan dengan kebutuhan warga belajar
|
§
Pemberian ragi
belajar dalam bentuk Ijazah
|
8.
|
Kelompok belajar
|
§
Jumlah kelompok
10-20 orang
§
Pembentukan kelompok
berdasarkan minat yang sama (melibatkan warga belajar)
§
Ikatan kelompok
bersifat informal
|
§
Jumlah kelompok
bisanya 30 lebih
§
Pembentukan kelas
ditentukan oleh penyelenggara
§
Ikatan kelompok
bersifat formal
|
9.
|
Program belajar
|
§
Kurikulum disusun
berdasarkan kebutuhan pasar
§
Kurikulum lebih
menekankan kemampuan praktis
§
Memungkinkan
perubahan kurikulum lebih fleksibel sesuai dengan perubahan keadaan tempat.
§
Program belajar
boleh tidak berjenjang
§
Persyaratan
keikutsertaan program belajar relatif terbuka (usia latar Belakang
pendidikan, sosial, ekonomi, dsb)
§
Program dikembangkan
untuk mengatasi masalah riil yang dirasakan mendesak/ jangka pendek
§
Penyusunan program
melibatkan masyarakat secara partisipatif
§
Proses pembelajaran
secara kelompok dan mandiri
§
Pelaksanaan / waktu
belajar fleksibel sesuai kesepakatan
§
Penyelesaian program
relative singkat
§
Memberdayakan
potensi sumber setempat
§
Sistem evaluasi
tidak baku (kecuali program pake A pake B and Kursus)
|
§
Kurikulum disusun di
pusat (sentralisasi)
§
Lebih menekankan
kemampuan teoretis akademis
§
Kurikulum lebih
bersifat baku (sulit berubah) kurang dinamis tidak adaftif dengan
perkembangan
§
Perjenjangan
bersifat baku
§
Persyaratan
keikutsertaan program bersifat baku dan berlaku menyeluruh (secara nasional)
§
Program dikembangkan
untuk menyiapkan peserta untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi
§
Program disusun
sepenuhnya oleh pemerintah, masyarakat bersifat pasif / pengguna
§
Pembelajaran
dilakukan secara klasikal
§
Waktu belajar sudah
pasti
§
Penyelesaian program
lama
§
Penekanan pada
penguasaan pengetahuan akademis
§
Mengabaikan nara sumber
/ potensi sekitar
§
Sistem evaluasi baku
|
10.
|
Hasil belajar
|
§
Hasil belajar dapat
dijadikan bekal untuk bermatapencaharian
§
Hasil belajar
berdampak terhadap peningkatan pendapatan masyarakat
§
Dapat diterapkan
sehari-hari
§
Tak mengutamakan
ijazah
|
§
Berpotensi untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tinggi
§
Hasil belajar untuk
jenjang karir di masa datang
§
Hasil belajar tidak
dapat langsung diterapkan dalam dunia nyata
§
Ijazah merupakan
hasil akhir
|
5. Sasaran
pendidikan luar sekolah
Dibagi 2 sasaran pokok:
1. Pendidikan
luar sekolah untuk pemuda
1. Sebab-sebab
timbulnya:
1. Banyak
anak-anak usia sekolah tidak memperoleh pendidikan sekolah yang cukup,
lebih-lebih di negara yang berkembang
2. Mereka
memperoleh pendidikan yang tradisional
3. Mereka
memperoleh latihan kecakapan khusus melalui pola-pola pergaulan
4. Mereka
dituntut mempelajari norma-norma dan tanggung jawab sebagai sangsi dari
masyarakatnya
1. Kelompok-kelompok
kegiatan pendidikan Luar Sekolah antara lain:
1. Klub
pemuda
2. Klub-Klub
pemuda tani
3. Kelompok
pergaulan
2. Pendidikan
luar sekolah untuk orang dewasa
§ Pendidikan
ini timbul oleh karena:
1. Orang-orang
dewasa tertarik terhadap profesi kerja.
2. Orang
dewasa tertarik terhadap keahlian.
§ Dalam
rangka memperoleh pendidikan di atas dapat ditempuh melalui:
1. Kursus-kursus
pendek.
2. In
service-training.
3. Surat-menyurat.
Lebih lanjut, sesuai
dengan Rancangan Peraturan Pemerintah maka sasaran PLS dapat meliputi:
1. Ditinjau
dari segi sasaran pelayanan, berupa:
1. Usia
pra-sekolah (0-6 tahun)
2. Usia
pendidikan dasar (7-12 tahun)
3. Usia
pendidikan menengah (13-18 tahun)
4. Usia
pendidikan tinggi (19-24 tahun)
2. Ditinjau
dari jenis kelamin
Program ini secara tegas diarahkan pada
kaum wanita oleh karena jumlah mereka yang besar dan partisifasinya kurang
dalam rangka produktifitas dan efesiensi kerja.
3. Berdasarkan
lingkungan sosial budaya
1. Masyarakat
pedesaan.
2. Masyarakat
perkotaan.
3. Masyarakat
terpencil.
4. Berdasarkan
kekhususan sasaran Pelajaran
1. Peserta
didik yang dapat digolongkan terlantar, seperti anak yatim piatu.
2. Peserta
didik yang mengalami pengembangan sosial dan emosional seperti anak nakal,
korban narkotika dan wanita tuna susila.
3. Peserta
yang mengalami cacat mental dan cacat tubuh seperti tuna netra, tuna rungu,
tuna mental.
4. Peserta
didik yang karena berbagai sebab sosial, tidak dapat mengikuti program pendidikan
persekolahan.
5. Berdasarkan
pranata
1. Pendidikan
keluarga.
2. Pendidikan
perluasan wawasan.
3. Pendidikan
keterampilan.
6. Berdasarkan
sistem pengajaran
1. Kelompok,
organisasi, dan lembaga.
2. Mekanisme
sosial budaya seperti perlombaan dan pertandingan.
3. Kesenian
tradisional, seperti wayang, ludruk, ataupun teknologi modern seperti televisi,
radio, film, dan sebagainya.
4. Prasarana
dan sarana seperti balai desa, mesjid, gereja, sekolah dan alat-alat
perlengkapan kerja.
7. Berdasarkan
segi pelembagaan program
1. Program
antar sektoral dan swadaya masyarakat seperti PKK, PKN dan P2WKSS.
2. Koordinasi
perencanaan desa atau pelaksanaan program pembangunan.
3. Tenaga
pengarahan di tingkat pusat, propinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Pendidikan luar
sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah
ada di pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah timbul dari konsep
pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada
pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. Pendidikan luar sekolah
pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan
dalam suatu bidang tertentu. Pembinaan dan pengembangan PLS dipandang relevan
untuk bisa saling mengisi atau topang menopang dengan sistem persekolahan. Agar
setiap lulusan bisa hidup mengikuti perkembangan zaman dan selalu dibutuhkan
oleh masyarakat seiring dengan perkembangan IPTEK yang semakin maju.
2. Saran
Di samping kita
mengikuti jenjang pendidikan formal alangkah baiknya dilengkapi dengan mengikuti
pendidikan luar sekolah seperti kursus-kursus, dll. Agar kekurangan/kelemahan
yang ada pada pendidikan formal bisa tertutupi dengan pendidikan luar sekolah
sehingga diharapkan setiap lulusan bisa hidup mengikuti perkembangan zaman dan
selalu dibutuhkan oleh masyarakat seiring dengan perkembangan/kemajuan IPTEK.
DAFTAR PUSTAKA
Joesoef Soelaiman,
2004, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Kurdie Syuaeb,
2002, Pendidikan Luar Sekolah. Cirebon: CV. Alawiyah.
Faisal Sanapiah,
1981, Pendidikan Luar Sekolah . Surabaya: CV. Usaha Nasional.